Seiring dengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan.
“Pemerintah seharusnya melihat tren dunia yang saat ini lebih memfokuskan penggunaan jagung untuk ethanol. Dilihat dari beberapa aspek komoditas jagung lebih menguntungkan, karena ampasnya bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak,” kata Ir Adhie Widhiarto mewakili Masyarakat Agribisnis Jagung Sumut kepada Medan Bisnis, Jumat (9/6) di Medan.
Adhi menjelaskan, hingga saat ini produksi jagung dunia belum mampu memenuhi kebutuhan di mana produksinya hanya 680 juta ton sedangkan kebutuhan mencapi 710 juta ton atau minus 30 juta ton. Apalagi dengan tren bioethanol jagung, artinya kebutuhan jagung dunia akan terus mengalami peningkatan.
Amerika Serikat misalnya, penggunaan jagung sebagai ethanol menyebabkan kebutuhan jagung di negara tersebut meningkat berlipat ganda. Saat ini, paling tidak mencapai 212 juta ton per tahun. “Terjadi peningkatan kebutuhan jagung. Karena beberapa negara sudah memanfaatkan jagung sebagai bahan baku ethanol. Tren ini akan terus mengalami peningkatan sehingga kebutuhan terhadap komoditas jagung semakin tak terkendali,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam sebuah kesempatan, Asean Business Manager PT DuPont, Andy Gumala mengatakan bahwa potensi jagung Indonesia sangat besar dan memiliki multi manfaat. “Selama ini jagung banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak. Padahal produk ini juga bisa dijadikan bioethanol seperti yang sudah dilakukan di Amerika Serikat. Bahkan energi ini dapat terus diperbaharui,” tambahnya.
Sebagai produsen jagung, PT DuPont Indonesia melihat beberapa propinsi di Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil jagung yang besar, seperti Gorontalo, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur serta Aceh.
Jika potensi daerah ini dapat dimanfaatkan, selain dapat mengangkat ekonomi para petani jagung, Indonesia juga dapat memproduksi campuran bahan bakar dari bioethanol.
Menurut Andy Gumala, dari hitungan secara sederhana, jika asumsi ethanol akan menggantikan 10% dari kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 60 juta kilo liter per tahun, maka diperlukan 6 juta x 2,4 ton jagung yang berarti 14,4 juta ton jagung atau setara dengan 3 juta hektar lahan tanaman jagung.
Mengenai investasi pembangunan pabrik ethanol, menurut Adhi, sangat tergantung kepada kapasitas produksi yang akan dihasilkan dan ketersediaan bahan baku. Untuk mesin-mesin pengolah, katanya, saat ini sudah ada produksi lokal yang sederhana namun tak kalah canggihnya dengan produk impor. “Tetapi demikian pun dapat dikalkulasikan kebutuhannya antara US$ 10 juta - US$ 15 juta atau sekitar Rp 10 miliar - 15 miliar,” katanya.
Dikatakan Adhi, investasi pada tanaman jagung juga relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Untuk jagung, investasi yang dibutuhkan hanya Rp 3 juta per hektar sedangkan tanaman jarak bisa mencapai Rp 8 juta - Rp 9 juta sehingga akan memberi peluang bagi petani.
“Seperti kita ketahui, penanaman jagung lebih banyak dilakukan oleh petani rakyat. Pengembangan jagung dengan total investasi yang relatif rendah akan memudahkan bagi petani untuk ambil bagian dalam bisnis ini,” imbuhnya.
Adhi yang juga Bendahara HKTI Sumut ini mengakui, dibandingkan dengan jarak, pengolahan jagung menjadi ethanol lebih rumit. Kalau jarak bisa dilakukan dengan teknologi sederhana sedangkan jagung prosesnya lebih panjang, teknologinya juga lebih tinggi.
PT DuPont, menurut Adhi, berupaya untuk mensosialisasikan penggunaan jagung untuk bioethanol ini bukan semata dalam rangka meningkatkan penjualan benihnya, tetapi lebih kepada mencari solusi akibat krisi energi dan berbagai permasalahan yang timbul karenanya.
Tanggal Tayang : 27-6-2006
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar