Senin, 15 September 2008

Produksi Bioetanol


Oleh Achmad N Hidayat - Nawapanca Engineering http://www.migas-indonesia.com

TEKNOLOGI
Teknologi produksi bioethanol berikut ini diasumsikan menggunakan jagung sebagai bahan baku, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakannya biomassa yang lain, terutama molase.
Secara umum, produksi bioethanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.
Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya.

Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu:

- Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula
- Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik
- Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan menjadi gula kompleks (liquefaction) dan sakarifikasi (Saccharification) dengan penambahan air, enzyme serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan.

Tahap Liquefaction memerlukan penanganan sebagai berikut:

- Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur
- Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim
- Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat
- Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90 C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti Jelly) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (dextrin). Proses Liquefaction selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup.

Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut:

- Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja
- Pengaturan pH optimum enzim
- Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat
- Mempertahankan pH dan temperature pada rentang 50 sd 60 C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan)

Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi ini akan menghasilkan etanol dan CO2.

Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32 C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan.

Selanjutnya ragi akan menghasilkan ethanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi.
Dan tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi.

Distilasi
Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer (sebagian besar adalah air dan etanol).
Titik didih etanol murni adalah 78 C sedangkan air adalah 100 C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 - 100 C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.

Prosentase Penggunaan Energy
Prosentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam tabel berikut ini:

Prosentase Penggunaan Energi
Identifikasi Proses Steam Listrik
Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan 0 % 6.1 %
Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi 30.5 % 2.6 %
Produksi Enzim Amilase 0.7 % 20.4 %
Fermentasi 0.2 % 4 %
Distilasi 58.5 % 1.6 %
Etanol Dehidrasi (jika ada) 6.4 % 27.1 %
Penyimpanan Produk 0 % 0.7 %
Utilitas 2.7 % 27 %
Bangunan 1 % 0.5 %
TOTAL 100 % 100 %

Sumber:
A Guide to Commercial-Scale Ethanol Production and Financing, Solar Energy Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401

PERALATAN PROSES

Adapun rangkaian peralatan proses adalah sebagai berikut:

  • Peralatan penggilingan
  • Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
  • External Heat Exchanger
  • Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
  • Tangki Penampung Bubur
  • Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
  • Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
  • Boiler, termasuk system feed water dan softener
  • Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting
  • Tangki penyimpan air hangat, termasuk pompa dan pneumatik
  • Pompa Utilitas, Kompresor dan kontrol
  • Perpipaan dan Electrikal
  • Peralatan Laboratorium
  • Lain-lain, termasuk alat-alat maintenance

MENIMBANG KELAYAKAN BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI BENSIN



Sejak Menteri Negara Riset dan Teknologi Dr. Kusmayanto Kadiman melaunching bahan bakar Gasohol BE-10 pada akhir Januari 2005 yang kemudian didukung dengan terjadinya kenaikan harga minyak mentah dunia sampai menyentuh US$70/barel, maka bioetanol telah mendapat publikasi yang luas melalui berbagai media cetak dan el ektronik maupun pada pameran-pameran yang digelar pada tahun ini.

Reaksi masyarakat sangat beragam, mulai dari yang mendukung sampai yang menentang. Lebih banyak yang mendukung, antara lain karena masyarakat sedang kesal dengan kenaikan harga BBM yang dipandang mengancam kehidupan mereka. Terselip harapan, semoga bioetanol dapat
menjadi bahan bakar alternatif yang lebih murah. Adapun yang menentang memberikan argumentasi beragam, mulai dari singkong yang rakus unsur hara, bioetanol berpotensi menjadi pesaing bahan pangan yang masih impor, sampai dengan ancaman terhadap keanekaragaman hayati karena pertanian monokultur untuk bahan baku etanol. Para penggemar otomotif menempuh cara bereaksi yang agak berbeda, mereka rela menempuh jarak ratusan kilometer untuk mendapatkan bioetanol puluhan liter, mencoba sendiri dan kemudian memberikan laporan lewat tabloid, email maupun sms.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk secara langsung merespons reaksi masyarakat, tetapi lebih merupakan upaya memberikan masukan kepada masyarakat, para anggota legeslatif maupun pengambil keputusan di Pemerintah, sebelum memilih (atau tidak memilih) bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di masa depan.

Kegunaan teknis bioetanol sebagai bahan bakar Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar, sesungguhnya seusia dengan perkembangan industri otomotif. Mobil Ford generasi pertama (Type T) merupakan mobil yang menggunakan bioetanol sebagai bahan bakar. Sejak bensin diproduksi dengan harga murah pasca Perang Dunia II, bioetanol tersisih karena harganya tidak cukup kompetitif. Krisis minyak pada tahun 1970-an mengangkat kembali bioetanol sebagai bahan bakar alternatif di AS, Brazil dan beberapa negara Asia dan Eropa.

Bioetanol bersifat multi-guna karena dicampur dengan bensin pada komposisi berapapun memberikan dampak yang positif. Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin (90%), sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) plus alkohol (bioetanol). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan Premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara- negara maju telah menggeser penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE).

Pelarangan MTBE merupakan topik hangat dalam pembahasan Energy Bill di Kongres dan Senat negara-negara bagian di AS. Pencampuran sampai dengan 24 % masih dapat menggunakan mobil bensin konvensional. Di atas itu, diperlukan mobil khusus yang telah banyak diproduksi di AS maupun Brazil. Yang populer dan diminati saat ini adalah Flexible- Fuel Vehicle (FFV). Ini sejenis "mobil cerdas" karena dilengkapi dengan sensor dan panel otomatisasi yang dapat mengatur mesin untuk menggunakan campuran bensin-bioetanol pada komposisi berapapun.Etanol teknis (95 % etanol, 5 % air) juga digunakan pada mobil khusus alkohol di Brazil, meskipun akhir-akhir ini kalah pamor dengan mobil FFV.

Ketersediaan
Bioetanol dapat diolah dari berbagai jenis tanaman berpati (ubikayu, jagung, sorgum biji, sagu), tanaman bergula (tebu, sorgum manis, bit) serta serat (jerami, tahi gergaji, ampas tebu). Seluruh jenis bahan baku ini, pada kondisi harga minyak mentah saat ini biaya produksinya kompetitif terhadap bensin. Untuk tanaman berpati dan bergula, dengan produktifitas rata-rata bioetanol 5.000 liter/ha per- tahun, konsumsi seluruh bensin sebesar 16 juta kilo per-tahun (tahun 2005) dapat diproduksi dengan budidaya bahan baku seluas 3,2 juta hektar saja (1,7% dari luas daratan Indonesia). Jika dalam waktu dekat ini, bahan baku serat selulosa (jerami dan sejenisnya) dapat bersaing dengan pati-patian dan gula, jumlah lahan yang digunakan menjadi lebih sedikit.

Daya saing terhadap bensin
Biaya produksi bioetanol terkait dengan bahan bakar yang digunakan dalam proses produksinya. Biaya produksi bioetanol di Brazil termurah karena listrik dan steam yang digunakan dalam proses dapat dipenuhi melalui pembakaran ampas tebu, sehingga biaya produksinya cuma separuh harga bensin. Sedangkan di AS, karena menggunakan gas alam sebagai bahan bakar proses, mengalami penigkatan biaya produksi karena gas alam juga ikut naik bersama kenaikan harga minyak. Sebagai gambaran, per-30 Agustus 2005, ketika harga minyak mentah US$69,81/barel, harga bensin Rp 6.500,-/liter dan bioetanol Rp 5.600,-/liter (asumsi 1US$1 = Rp10.000).

Kompetisi bahan baku atau peningkatan kesejahteraan petani ?
Tanpa dibarengi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan, industri bioetanol akan berkompetisi secara langsung dengan pengguna tebu/molases, ubikayu, jagung dan bahan baku lainnya. Pada kondisi kritis ini, industri bioetanol lebih sensitif terhadap peningkatan harga dibandingkan dengan industri pangan, karena biaya produksi 1 liter bioetanol hampir sama dengan harga 1 kg produk industri pangan. Padahal 1 liter etanol memerlukan 2 kg bahan baku setara 2 kg produk industri pangan. Jadi, industri bioetanol pasti akan kalah bersaing dan mencari bahan baku alternatif yang lebih murah. Dengan kata lain, karena kebutuhan bahan baku yang besar, industri bioetanol sesungguhnya dapat berperan sebagai penyangga harga komoditas pertanian. Petani tidak perlu cemas harga jatuh, sementaraketahanan pangan menjadi meningkat karena produksi yang berlimpah.

Industri bioetanol mungkin dapat dianalogikan dengan ikan sapu-sapu di kolam. Dengan gerak lamban, dia membalikkan badan menyorongkan mulutnya menampung sisa-sisa makanan ikan lain, tetapi ketika tidak tersisa makanan di permukaan air, lumut yang melekat di dinding kolampun dimakan.

Dampak positip-negatip terhadap lingkungan
Produksi bioetanol dari tanaman dan penggunaannya pada mesin mobil akan menciptakan keseimbangan siklus karbondioksida, yang berarti akan mengurangi laju pemanasan global. Pembakaran bensin yang lebih sempurna ketika dicampur bioetanol 10 % saja akan memperbaiki
kualitas udara di kota-kota padat lalu lintas. Di Indonesia hal ini menjadi krusial, karena aditif timbal (TEL) masih digunakan di luar Jawa-Bali. Tidak murah menggantikan TEL dengan aditif HOMC (High Octane Mogas Component) karena biaya produksinya sangat mahal. Pengalaman banyak negara menunjukkan, bioetanol menjadi pilihan yang paling murah.

Sisi negatifnya, produksi bioetanol secara besar-besaran berpotensi menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati melalui monokultur bahan baku berikut praktek-praktek pertanian yang merusak kualitas lahan. Ini bukan masalah baru dan harus diatasi bersama-sama agroindustri lainnya melalui penerapan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang terintegrasikan dengan sistem bioindustri nir- limbah. Integrasi budidaya bahan baku dengan pabrik bioetanol dan peternakan sapi telah terbukti menurunkan biaya investasi, yang dapat menurunkan kapasitas minimal pabrik. Selain itu, penggunaan aneka ragam bahan baku juga tidak akan banyak berpengaruh terhadap investasi awal karena prosesnya lebih sederhana dibandingkan dengan proses fermentasi, distilasi dan dehidrasi.

Kebutuhan Investasi versus Penghematan Devisa
Tidak ada batasan yang tegas, berapa skala komersial minimal pabrik bioetanol. Dari 83 buah pabrik bioetanol di AS, skalanya berkisar dari 2,5 kl /hari sampai dengan 1.000 kL/hari, meskipun pada umumnya di atas 100 kL/hari. Secara hitungan kasar, setiap kelipatan 10 kali kapasitasnya, biaya investasinya menurun separuhnya. Biaya investasi kilang bioetanol kapasitas 100 kL/hari berkisar antara Rp 2-3 milyar per-kiloliternya. Dengan harga etanol yang dihitung sama dengan bensin saja, pembangunan 1 pabrik ukuran ini akan menghemat devisa untuk impor bensin sebesar 33.000 kL/tahun x Rp 5.450,- /liter atau Rp 179.850.000.000,-.

Gambaran yang rada nakal tapi serius adalah bagaimana kalau subsidi bensin tahun 2005 digunakan untuk membangun pabrik bioetanol ? Seperempat BBM kita adalah bensin. Kalau disepakati subsidi untuk BBM Rp 89.2 triliun, maka diperoleh angka Rp 22,3 triliun yang dapat digunakan untuk membangun pabrik bioetanol 89 buah @ kapasitas 100 kL/hari. Bioetanol yang dihasilkan adalah 2.937.000 kL/tahun atau mensubsitusi hampir 20 % kebutuhan bensin di tanah air dengan penghematan devisa Rp 89,2 triliun ! Bioetanol sebanyak ini membutuhkan lahan seluas 587.000 hektar kualitas biasa sampai marjinal yang dapat ditanami singkong, tebu, sorgum atau jagung sebagai bahan baku bioetanol. Selanjutnya, silakan anda bayangkan sendiri lapangan pekerjaan yang tercipta di kawasan pertanian- perdesaan.

Kuncinya pada komitmen dan pasar
Pembangunan fisik pabrik bioetanol butuh waktu 2 tahun, sehingga "mimpi" di atas kalau dimulai awal tahun 2006 akan menghasilkan bioetanol pengganti hampir 20 % konsumsi bensin pada tahun 2008-2009. Sebagai contoh riil, Cina pada tahun 2001 belum memproduksi etanol grade bahan bakar, tetapi dengan komitmen pemerintah Cina yang kuat, maka tanpa terlalu memperhitungkan pasar, pada tahun 2004 negara Cina telah berhasil memproduksi 2 juta kiloliter bioetanol grade bahan bakar per-tahun.

Kita berada pada momentum yang tepat untuk memilih (atau tidak memilih sekalian) untuk memproduksi bioetanol sebagai pengganti (sebagian) bensin, karena pasar sedang berpihak pada bioetanol. Harga minyak mungkin akan fluktuatif, tetapi pengalaman Brazil dan AS membuktikan pilihan mereka tidak salah ketika mereka meneruskan Program bioetanol meskipun harga minyak sering turun tajam pada kurun 1970-2000. Bagaimanapun minyak bumi akan habis, sehingga fluktuatif sekalipun, tren harga minyak akan cenderung meningkat.

"Mimpi" di atas kertas di atas, dengan komitmen yang kuat disertai regulasi harga dan lain-lain, mungkin cukup realistik untuk terwujud seperempat atau seperlimanya.

Ditulis oleh Dr. Ir. M. Arif Yudiarto M.Eng. (Kabid Teknologi Etanol
dan Derivatif - Balai Besar Teknologi Pati BPPT) dan Ir. Djuma'ali
M.Si (Pengkaji Etanol BPPT)

bio ethanol & bio diesel

Jagung, Komoditas Pertanian yang Cocok untuk Bahan Baku Ethanol

Seiring dengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan.

“Pemerintah seharusnya melihat tren dunia yang saat ini lebih memfokuskan penggunaan jagung untuk ethanol. Dilihat dari beberapa aspek komoditas jagung lebih menguntungkan, karena ampasnya bisa digunakan sebagai bahan pakan ternak,” kata Ir Adhie Widhiarto mewakili Masyarakat Agribisnis Jagung Sumut kepada Medan Bisnis, Jumat (9/6) di Medan.

Adhi menjelaskan, hingga saat ini produksi jagung dunia belum mampu memenuhi kebutuhan di mana produksinya hanya 680 juta ton sedangkan kebutuhan mencapi 710 juta ton atau minus 30 juta ton. Apalagi dengan tren bioethanol jagung, artinya kebutuhan jagung dunia akan terus mengalami peningkatan.

Amerika Serikat misalnya, penggunaan jagung sebagai ethanol menyebabkan kebutuhan jagung di negara tersebut meningkat berlipat ganda. Saat ini, paling tidak mencapai 212 juta ton per tahun. “Terjadi peningkatan kebutuhan jagung. Karena beberapa negara sudah memanfaatkan jagung sebagai bahan baku ethanol. Tren ini akan terus mengalami peningkatan sehingga kebutuhan terhadap komoditas jagung semakin tak terkendali,” tambahnya.

Sebelumnya, dalam sebuah kesempatan, Asean Business Manager PT DuPont, Andy Gumala mengatakan bahwa potensi jagung Indonesia sangat besar dan memiliki multi manfaat. “Selama ini jagung banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak. Padahal produk ini juga bisa dijadikan bioethanol seperti yang sudah dilakukan di Amerika Serikat. Bahkan energi ini dapat terus diperbaharui,” tambahnya.
Sebagai produsen jagung, PT DuPont Indonesia melihat beberapa propinsi di Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil jagung yang besar, seperti Gorontalo, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur serta Aceh.

Jika potensi daerah ini dapat dimanfaatkan, selain dapat mengangkat ekonomi para petani jagung, Indonesia juga dapat memproduksi campuran bahan bakar dari bioethanol.

Menurut Andy Gumala, dari hitungan secara sederhana, jika asumsi ethanol akan menggantikan 10% dari kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 60 juta kilo liter per tahun, maka diperlukan 6 juta x 2,4 ton jagung yang berarti 14,4 juta ton jagung atau setara dengan 3 juta hektar lahan tanaman jagung.

Mengenai investasi pembangunan pabrik ethanol, menurut Adhi, sangat tergantung kepada kapasitas produksi yang akan dihasilkan dan ketersediaan bahan baku. Untuk mesin-mesin pengolah, katanya, saat ini sudah ada produksi lokal yang sederhana namun tak kalah canggihnya dengan produk impor. “Tetapi demikian pun dapat dikalkulasikan kebutuhannya antara US$ 10 juta - US$ 15 juta atau sekitar Rp 10 miliar - 15 miliar,” katanya.

Dikatakan Adhi, investasi pada tanaman jagung juga relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Untuk jagung, investasi yang dibutuhkan hanya Rp 3 juta per hektar sedangkan tanaman jarak bisa mencapai Rp 8 juta - Rp 9 juta sehingga akan memberi peluang bagi petani.

“Seperti kita ketahui, penanaman jagung lebih banyak dilakukan oleh petani rakyat. Pengembangan jagung dengan total investasi yang relatif rendah akan memudahkan bagi petani untuk ambil bagian dalam bisnis ini,” imbuhnya.

Adhi yang juga Bendahara HKTI Sumut ini mengakui, dibandingkan dengan jarak, pengolahan jagung menjadi ethanol lebih rumit. Kalau jarak bisa dilakukan dengan teknologi sederhana sedangkan jagung prosesnya lebih panjang, teknologinya juga lebih tinggi.

PT DuPont, menurut Adhi, berupaya untuk mensosialisasikan penggunaan jagung untuk bioethanol ini bukan semata dalam rangka meningkatkan penjualan benihnya, tetapi lebih kepada mencari solusi akibat krisi energi dan berbagai permasalahan yang timbul karenanya.

Tanggal Tayang : 27-6-2006
Sumber :

Minggu, 14 September 2008

Meubel JATI
















Produk meubel Kayu Jati merupakan produk meubel yg berkualitas. Karena daya tahan & kesan/image kayu Jati adalah high class product. Contoh produk kayu Jati seperti terlihat di gambar samping. Utk produk lainnya seperti almari, tempat tidur, meja makan, tolet, bufet, meja kerja, nakas, jam, kaligrafi, vas, dll. Silahkan kirim email jika tertarik informasi lebih jauh ke ujang.krisno@gmail.com